Selasa, 22 Juli 2014

Kehidupan Petani Bercocok Tanam Desa Karyasari

Saya terlahir dari keluarga petani. Kami tinggal di Desa Karyasari, Kabupaten Bogor. Dari sejak kecil saya sudah terbiasa ikut orang tua pergi ke kebun, membantu menanam bibit di ladang, memupuk tanaman, dan memanennya. Terkadang rasa jenuh dan bosan saya rasakan, namun rasa itu coba saya hilangkan dengan bermain bersama adik disela - sela tugas saya berkebun.
Semenjak lulus SMA saya mulai bekerja di Kota Bogor, sesekali saja saya pulang ke rumah. Kegiatan membantu orang tua berkebun mulai jarang kecuali ketika saya pulang ke rumah atau pada hari libur kerja. Saya menyempatkan membantu orang tua saya di kebun walaupun hanya membersihkan rumput atau menyemprot rumput dengan obat pestisida di lahan yang nantinya akan digarap dan ditanami sayuran.
Terkadang saya mersa bangga pada diri saya sendiri, ketika melihat para mahasiswa datang ke perkampungan untuk melakukan penelitian terhadap para petani. Saya tahu mereka mahasiswa itu hanya mengetahui pengetahuan pertanian secara teori yaitu dalam pelajarannya saja, sedangkan dalam prakteknya mereka belum tentu tahu. Setelah saya amati, ternyata kegiatan kunjungan praktek ke desa seperti ini merupakan media untuk bertukar ilmu antara si mahasiswa yang paham dengan teori pertanian dan si petani yang sudah terbiasa berkebun.
Meskipun saya sudah jarang pergi ke kebun, tetapi di tempat kerja saya saat ini kebetulan di halaman belakangnya terdapat sedikit lahan kosong milik Dinas Pertamanan Kota Bogor. Dari sedikit lahan itulah saya mencoba bercocok tanam cabai dan pohon pepaya. Bercocok tanam bersama teman - teman kerja sangat mengasikkan. Hasil panen tanaman ini, sudah kita nikmati. Setiap kali mau masak kita tidak repot pergi ke warung, tinggal ambil cabai di halaman belakang. Pohon   pepaya punya nilai lebih lain, karena bukan kita saja yang menikmati buahnya, tetapi hewan seperti tupai dan burungpun dapat ikut menikmatinya.
Ternyata pengalaman masa kecil membantu orang tua berkebun di desa dapat berguna untuk kehidupan saya saat ini. Mari bercocok tanam kawan! Hidup sehat dan membantu pelestarian ekosistem sekitar rumah kita.

Kamis, 17 Juli 2014

Pendakian Perdana Gunung Dempo

Gunung Dempo berada di Provinsi Sumatera Selatan, persisnya di Kota Pagar Alam. Dibutuhkan waktu sekitar 7 - 9 jam perjalanan darat yang harus ditempuh dari Palembang dengan angkutan Bis Telaga Biru. Ongkos biaya bis per orang adalah 50 ribu rupiah untuk mencapai Kota Pagar Alam.
Ini merupakan pengalaman pertama saya naik gunung dengan ditemani teman - teman dari Palembang. Peserta pendakian adalah Vivi, Herlinda, Wa Eep, Wa Ase, Wa Pudung, Linda (dari Bogor), dan saya sendiri. Kami semua tergabung dalam tim "wong kito galo", tim yang terbentuk secara spontan pada saat sedang mengisi absen disebuah warung di kampung empat sebelum mendaki.
Seperti halnya para pendaki, peralatan yang kita bawa pun secukupnya saja, seperti peralatan memasak sampai tenda. Bahan - bahan makanan adalah bagian yang paling banyak dibawa untuk kebutuhan naik gunung.
Perjalan kami menuju Kota Pagar Alam terhambat macet, terkurung di dalam bis dengan cuaca panas Palembang. Sehingga waktu yang ditempuh lebih lama bukan seperti  biasanya. Kita sampai di Kampung Pertama sekitar jam 10 malam, padahal  berangkat dari Palembang jam 10 pagi.  Kami memustuskan menginap di Kampung Pertama. Keesokan paginya kita berangkat menuju Kampung Empat (sebutan para pendaki). Di kampung empat ini biasanya dimanfaatkan para pendaki, baik yang turun gunung ataupun yang naik, untuk beristirahat ataupun hanya untuk mengisi perut.
Dari Kampung Empat inilah tim "Kito Galo" pendakian Gunung Dempo, dimulai. Kami berangkat pukul 10 pagi. Perasaan saya yg baru pertama kali memulai perjalanan naik gunung, begini senang.
Lintasan yang dilalui tidak begitu berat, melewati jalan setapak di perkebunan teh yang terhampar luas. Disepertiga perjalanan rasa lelah datang perlahan tetapi karena penasaran mendengar cerita dari teman - teman bahwa Kawah Gunung Dempo sangat indah, lelah itu hilang. Dan karena ini merupakan pendakian pertamaku, sehingga membuat tumbuh semangatku untuk terus melanjutkan berjalan.
Di pertengahan jalan, hari mulai gelap dan puncak Dempo masih terlihat jauh. Dari situlah emosi, dan rasa pesimis mulai menyergap sehingga ingin rasanya menghentikan perjalanan dan beristirahat saja. Tetapi karena lokasi yang tidak mendukung, tebing sangat terjal dan angin begitu kencang bertiup, sehingga kita harus terus melanjutkan perjalan menuju puncak.
Sesampainya di Puncak Dempo, tepatnya di pelataran yang biasanya para pendaki mendirikan tenda - tendanya, udara malam begitu dingin mencekam. Kita pun bersegera mendirikan tenda agar terlindung dari udara dingin Gunung Dempo. Begitu pagi hari tiba, rasanya enggan keluar dari tenda, tapi mau gimana lagi kita berencana pergi ke Kawah Dempo yang merupakan tujuan utama para pendaki. The show must go on!


Full team, berfoto di pintu rimba


Kawah Gunung Dempo berwarna biru tosca.


Minggu, 13 Juli 2014

Kreatifitas Anak Reumakilah

Tulisan ini saya buat karena ketertarikan saya kepada anak - anak ini yang begi kreatif untuk membuat makanan opak, karena yang saya tau sudah jarang say melihat anak - anak  di Desa Karyasari khususnya di Kampung Tamansari yang melakukan kegiatan seperti ini.

Dibulan puasa ini, anak - anak dari kampung Tamansari tepatnya di pemukiman Reumakilah terlihat ada yang sedikit berbeda. Mereka begitu kreatif dan berantusias membuat panganan opak untuk mengisi hari - hari menunggu berbuka puasa. Opak adalah panganan yang berbahan dari singkong yang diparut dan dikasih bumbu.
Ini merupakan kegiatan yang baik dan dapat menjadikan ajang bermain sekaligus belajar buat mereka. Kegiatan ini pun didukung oleh para orangtua, mulai dari mencabut singkong di kebun sampai dibuatkan bumbu campuran bahan dasar opak. Anak - anak melakukan pekerjaan memarut singkong, mencetak dan menaruhnya di tampah dan sampai hasilnya siap untuk dijemur.
Peralatan yang dipakai sangat sederhana, mereka memakai bekas kaleng susu yang sudah di cuci bersih untuk cetakan adonannya. Bekas ikan kaleng yang sudah di cuci bersih ini, juga mereka gunakan sebagai panci untuk mematangkan adonan opak. Kaleng-kaleng ikan tersebut cukup panjang dan dapat menampung air sehingga cocok untuk alat kukus. Ini lebih baik daripada kaleng susu bekas.
Nantinya hasil opak ini akan disantap pada saat berbuka puasa. Selain untuk santapan berbuka puasa, mereka juga rencananya akan membuat lebih banyak untuk dihidangkan di hari raya Idulfitri. Panganan  opak ini cocok juga disantap bersama ketupat dan opor.
Proses mencetak adonan Opak di kaleng, yang selanjutnya akan kukus
Proses pengukusan adonan Opak. Tanpa kita sadari terdapat kesetaraan gender, dimana laki - laki dapat juga memasak seperti pada umumnya perempuanlah yang biasanya melakukannya.