Saya terlahir dari keluarga petani. Kami tinggal di Desa Karyasari, Kabupaten Bogor. Dari sejak kecil saya sudah terbiasa ikut orang tua pergi ke kebun, membantu menanam bibit di ladang, memupuk tanaman, dan memanennya. Terkadang rasa jenuh dan bosan saya rasakan, namun rasa itu coba saya hilangkan dengan bermain bersama adik disela - sela tugas saya berkebun.
Semenjak lulus SMA saya mulai bekerja di Kota Bogor, sesekali saja saya pulang ke rumah. Kegiatan membantu orang tua berkebun mulai jarang kecuali ketika saya pulang ke rumah atau pada hari libur kerja. Saya menyempatkan membantu orang tua saya di kebun walaupun hanya membersihkan rumput atau menyemprot rumput dengan obat pestisida di lahan yang nantinya akan digarap dan ditanami sayuran.
Terkadang saya mersa bangga pada diri saya sendiri, ketika melihat para mahasiswa datang ke perkampungan untuk melakukan penelitian terhadap para petani. Saya tahu mereka mahasiswa itu hanya mengetahui pengetahuan pertanian secara teori yaitu dalam pelajarannya saja, sedangkan dalam prakteknya mereka belum tentu tahu. Setelah saya amati, ternyata kegiatan kunjungan praktek ke desa seperti ini merupakan media untuk bertukar ilmu antara si mahasiswa yang paham dengan teori pertanian dan si petani yang sudah terbiasa berkebun.
Meskipun saya sudah jarang pergi ke kebun, tetapi di tempat kerja saya saat ini kebetulan di halaman belakangnya terdapat sedikit lahan kosong milik Dinas Pertamanan Kota Bogor. Dari sedikit lahan itulah saya mencoba bercocok tanam cabai dan pohon pepaya. Bercocok tanam bersama teman - teman kerja sangat mengasikkan. Hasil panen tanaman ini, sudah kita nikmati. Setiap kali mau masak kita tidak repot pergi ke warung, tinggal ambil cabai di halaman belakang. Pohon pepaya punya nilai lebih lain, karena bukan kita saja yang menikmati buahnya, tetapi hewan seperti tupai dan burungpun dapat ikut menikmatinya.
Ternyata pengalaman masa kecil membantu orang tua berkebun di desa dapat berguna untuk kehidupan saya saat ini. Mari bercocok tanam kawan! Hidup sehat dan membantu pelestarian ekosistem sekitar rumah kita.
Catatan ini dibuatberdasarkan apa yang saya liat, apa yang saya dengarkan, dan apa yang saya rasakan dalam setiap perjalan.
Selasa, 22 Juli 2014
Kamis, 17 Juli 2014
Pendakian Perdana Gunung Dempo
Gunung Dempo berada di Provinsi Sumatera Selatan, persisnya di Kota Pagar Alam. Dibutuhkan waktu sekitar 7 - 9 jam perjalanan darat yang harus ditempuh dari Palembang dengan angkutan Bis Telaga Biru. Ongkos biaya bis per orang adalah 50 ribu rupiah untuk mencapai Kota Pagar Alam.
Ini merupakan pengalaman pertama saya naik gunung dengan ditemani teman - teman dari Palembang. Peserta pendakian adalah Vivi, Herlinda, Wa Eep, Wa Ase, Wa Pudung, Linda (dari Bogor), dan saya sendiri. Kami semua tergabung dalam tim "wong kito galo", tim yang terbentuk secara spontan pada saat sedang mengisi absen disebuah warung di kampung empat sebelum mendaki.
Seperti halnya para pendaki, peralatan yang kita bawa pun secukupnya saja, seperti peralatan memasak sampai tenda. Bahan - bahan makanan adalah bagian yang paling banyak dibawa untuk kebutuhan naik gunung.
Perjalan kami menuju Kota Pagar Alam terhambat macet, terkurung di dalam bis dengan cuaca panas Palembang. Sehingga waktu yang ditempuh lebih lama bukan seperti biasanya. Kita sampai di Kampung Pertama sekitar jam 10 malam, padahal berangkat dari Palembang jam 10 pagi. Kami memustuskan menginap di Kampung Pertama. Keesokan paginya kita berangkat menuju Kampung Empat (sebutan para pendaki). Di kampung empat ini biasanya dimanfaatkan para pendaki, baik yang turun gunung ataupun yang naik, untuk beristirahat ataupun hanya untuk mengisi perut.
Dari Kampung Empat inilah tim "Kito Galo" pendakian Gunung Dempo, dimulai. Kami berangkat pukul 10 pagi. Perasaan saya yg baru pertama kali memulai perjalanan naik gunung, begini senang.
Lintasan yang dilalui tidak begitu berat, melewati jalan setapak di perkebunan teh yang terhampar luas. Disepertiga perjalanan rasa lelah datang perlahan tetapi karena penasaran mendengar cerita dari teman - teman bahwa Kawah Gunung Dempo sangat indah, lelah itu hilang. Dan karena ini merupakan pendakian pertamaku, sehingga membuat tumbuh semangatku untuk terus melanjutkan berjalan.
Di pertengahan jalan, hari mulai gelap dan puncak Dempo masih terlihat jauh. Dari situlah emosi, dan rasa pesimis mulai menyergap sehingga ingin rasanya menghentikan perjalanan dan beristirahat saja. Tetapi karena lokasi yang tidak mendukung, tebing sangat terjal dan angin begitu kencang bertiup, sehingga kita harus terus melanjutkan perjalan menuju puncak.
Sesampainya di Puncak Dempo, tepatnya di pelataran yang biasanya para pendaki mendirikan tenda - tendanya, udara malam begitu dingin mencekam. Kita pun bersegera mendirikan tenda agar terlindung dari udara dingin Gunung Dempo. Begitu pagi hari tiba, rasanya enggan keluar dari tenda, tapi mau gimana lagi kita berencana pergi ke Kawah Dempo yang merupakan tujuan utama para pendaki. The show must go on!
Ini merupakan pengalaman pertama saya naik gunung dengan ditemani teman - teman dari Palembang. Peserta pendakian adalah Vivi, Herlinda, Wa Eep, Wa Ase, Wa Pudung, Linda (dari Bogor), dan saya sendiri. Kami semua tergabung dalam tim "wong kito galo", tim yang terbentuk secara spontan pada saat sedang mengisi absen disebuah warung di kampung empat sebelum mendaki.
Seperti halnya para pendaki, peralatan yang kita bawa pun secukupnya saja, seperti peralatan memasak sampai tenda. Bahan - bahan makanan adalah bagian yang paling banyak dibawa untuk kebutuhan naik gunung.
Perjalan kami menuju Kota Pagar Alam terhambat macet, terkurung di dalam bis dengan cuaca panas Palembang. Sehingga waktu yang ditempuh lebih lama bukan seperti biasanya. Kita sampai di Kampung Pertama sekitar jam 10 malam, padahal berangkat dari Palembang jam 10 pagi. Kami memustuskan menginap di Kampung Pertama. Keesokan paginya kita berangkat menuju Kampung Empat (sebutan para pendaki). Di kampung empat ini biasanya dimanfaatkan para pendaki, baik yang turun gunung ataupun yang naik, untuk beristirahat ataupun hanya untuk mengisi perut.
Dari Kampung Empat inilah tim "Kito Galo" pendakian Gunung Dempo, dimulai. Kami berangkat pukul 10 pagi. Perasaan saya yg baru pertama kali memulai perjalanan naik gunung, begini senang.
Lintasan yang dilalui tidak begitu berat, melewati jalan setapak di perkebunan teh yang terhampar luas. Disepertiga perjalanan rasa lelah datang perlahan tetapi karena penasaran mendengar cerita dari teman - teman bahwa Kawah Gunung Dempo sangat indah, lelah itu hilang. Dan karena ini merupakan pendakian pertamaku, sehingga membuat tumbuh semangatku untuk terus melanjutkan berjalan.
Di pertengahan jalan, hari mulai gelap dan puncak Dempo masih terlihat jauh. Dari situlah emosi, dan rasa pesimis mulai menyergap sehingga ingin rasanya menghentikan perjalanan dan beristirahat saja. Tetapi karena lokasi yang tidak mendukung, tebing sangat terjal dan angin begitu kencang bertiup, sehingga kita harus terus melanjutkan perjalan menuju puncak.
Sesampainya di Puncak Dempo, tepatnya di pelataran yang biasanya para pendaki mendirikan tenda - tendanya, udara malam begitu dingin mencekam. Kita pun bersegera mendirikan tenda agar terlindung dari udara dingin Gunung Dempo. Begitu pagi hari tiba, rasanya enggan keluar dari tenda, tapi mau gimana lagi kita berencana pergi ke Kawah Dempo yang merupakan tujuan utama para pendaki. The show must go on!
Full team, berfoto di pintu rimba
Kawah Gunung Dempo berwarna biru tosca.
Minggu, 13 Juli 2014
Kreatifitas Anak Reumakilah
Tulisan ini saya buat karena ketertarikan saya kepada anak - anak ini yang begi kreatif untuk membuat makanan opak, karena yang saya tau sudah jarang say melihat anak - anak di Desa Karyasari khususnya di Kampung Tamansari yang melakukan kegiatan seperti ini.
Dibulan puasa ini, anak - anak dari kampung Tamansari tepatnya di pemukiman Reumakilah terlihat ada yang sedikit berbeda. Mereka begitu kreatif dan berantusias membuat panganan opak untuk mengisi hari - hari menunggu berbuka puasa. Opak adalah panganan yang berbahan dari singkong yang diparut dan dikasih bumbu.
Ini merupakan kegiatan yang baik dan dapat menjadikan ajang bermain sekaligus belajar buat mereka. Kegiatan ini pun didukung oleh para orangtua, mulai dari mencabut singkong di kebun sampai dibuatkan bumbu campuran bahan dasar opak. Anak - anak melakukan pekerjaan memarut singkong, mencetak dan menaruhnya di tampah dan sampai hasilnya siap untuk dijemur.
Peralatan yang dipakai sangat sederhana, mereka memakai bekas kaleng susu yang sudah di cuci bersih untuk cetakan adonannya. Bekas ikan kaleng yang sudah di cuci bersih ini, juga mereka gunakan sebagai panci untuk mematangkan adonan opak. Kaleng-kaleng ikan tersebut cukup panjang dan dapat menampung air sehingga cocok untuk alat kukus. Ini lebih baik daripada kaleng susu bekas.
Nantinya hasil opak ini akan disantap pada saat berbuka puasa. Selain untuk santapan berbuka puasa, mereka juga rencananya akan membuat lebih banyak untuk dihidangkan di hari raya Idulfitri. Panganan opak ini cocok juga disantap bersama ketupat dan opor.
Dibulan puasa ini, anak - anak dari kampung Tamansari tepatnya di pemukiman Reumakilah terlihat ada yang sedikit berbeda. Mereka begitu kreatif dan berantusias membuat panganan opak untuk mengisi hari - hari menunggu berbuka puasa. Opak adalah panganan yang berbahan dari singkong yang diparut dan dikasih bumbu.
Ini merupakan kegiatan yang baik dan dapat menjadikan ajang bermain sekaligus belajar buat mereka. Kegiatan ini pun didukung oleh para orangtua, mulai dari mencabut singkong di kebun sampai dibuatkan bumbu campuran bahan dasar opak. Anak - anak melakukan pekerjaan memarut singkong, mencetak dan menaruhnya di tampah dan sampai hasilnya siap untuk dijemur.
Peralatan yang dipakai sangat sederhana, mereka memakai bekas kaleng susu yang sudah di cuci bersih untuk cetakan adonannya. Bekas ikan kaleng yang sudah di cuci bersih ini, juga mereka gunakan sebagai panci untuk mematangkan adonan opak. Kaleng-kaleng ikan tersebut cukup panjang dan dapat menampung air sehingga cocok untuk alat kukus. Ini lebih baik daripada kaleng susu bekas.
Nantinya hasil opak ini akan disantap pada saat berbuka puasa. Selain untuk santapan berbuka puasa, mereka juga rencananya akan membuat lebih banyak untuk dihidangkan di hari raya Idulfitri. Panganan opak ini cocok juga disantap bersama ketupat dan opor.
Proses mencetak adonan Opak di kaleng, yang selanjutnya akan kukus
Proses pengukusan adonan Opak. Tanpa kita sadari terdapat kesetaraan gender, dimana laki - laki dapat juga memasak seperti pada umumnya perempuanlah yang biasanya melakukannya.
Minggu, 15 Juni 2014
Palembang I am coming
Pada Mei 2013, saya mendapat kesempatan pergi ke Sumatera Selatan untuk sebuah urusan pekerjaan dari kantor tempat saya bekarya. Perjalanan ke kota yg terkenal dengan kuliner mpek-mpek ini juga merupakan trip pertama kalinya buat saya melakukan kegiatan lapangan. Selama ini penugasan saya terbatas di administrasi dan pekerjaan kantoran.
Singkat cerita, Provinsi Sumatera Selatan dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan pesawat. Kami berangkat dari Bandara Soekarno - Hatta menuju ke Bandara Sultan Mahmud Baharudin II.
Dari kaca pesawat terlihat daratan Sumatera dan terlihat sekilas hutannya yg sudah mulai habis. Selain itu di sekitaran Bandara Baharudin terlihat cekungan yang menyerupai kolam yang ternyata merupakan lokasi - lokasi pembuatan batu bata. Derah tersebut terkenal dengan sebutan Bangsal.
Cuaca sangat panas terasa setelah keluar dari bandara. Dari hasil wawancara dengan salah satu LSM Walhi Sumsel mengungkapkan bahwa akibat terjadinya deforestasi (penggundulan hutan) dimulai sejak 2001. Daerah Sumsel terkenal kaya akan migas,
listrik, dan batu bara. Potensi yang besar tersebut terkandung di dalam kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar (berdasarkan Surat Keputusan No 76/2011 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumsel).
Selain itu hutan juga merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar di Sumsel. Saat ini 5 juta hektar lahan berhutan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan.
Luas keseluruhan lahan di Sumatera Selatan adalah 8,7 juta hektar. Seluas 5 juta ha adalah kawasan berhutan yg sudah dibagi rata melalui konsesi perusahaan.
Singkat cerita, Provinsi Sumatera Selatan dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan pesawat. Kami berangkat dari Bandara Soekarno - Hatta menuju ke Bandara Sultan Mahmud Baharudin II.
Dari kaca pesawat terlihat daratan Sumatera dan terlihat sekilas hutannya yg sudah mulai habis. Selain itu di sekitaran Bandara Baharudin terlihat cekungan yang menyerupai kolam yang ternyata merupakan lokasi - lokasi pembuatan batu bata. Derah tersebut terkenal dengan sebutan Bangsal.
Cuaca sangat panas terasa setelah keluar dari bandara. Dari hasil wawancara dengan salah satu LSM Walhi Sumsel mengungkapkan bahwa akibat terjadinya deforestasi (penggundulan hutan) dimulai sejak 2001. Daerah Sumsel terkenal kaya akan migas,
listrik, dan batu bara. Potensi yang besar tersebut terkandung di dalam kawasan hutan seluas 4,2 juta hektar (berdasarkan Surat Keputusan No 76/2011 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumsel).
Selain itu hutan juga merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar di Sumsel. Saat ini 5 juta hektar lahan berhutan sudah beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan.
Luas keseluruhan lahan di Sumatera Selatan adalah 8,7 juta hektar. Seluas 5 juta ha adalah kawasan berhutan yg sudah dibagi rata melalui konsesi perusahaan.
Langganan:
Postingan (Atom)